Anjuran Sebagian Salaf Untuk Merayakan Maulid
Dalam bukunya, Ustadz Novel mengutip pendapat sebagian salaf[1]) tentang dianjurkannya maulid Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Setelah merujuk ke sumber aslinya, kami dapati bahwa buku yang jadi rujukan tersebut tidak mencantumkan sama sekali sanad setiap riwayat yang dinukil di sana. Padahal penulis buku itu [2]) hidup pada abad ke 14 Hijriah (wafat th 1310 H), lalu dari mana ia menukil riwayat-riwayat tadi? Tentunya cara seperti ini sangat tidak ilmiah, apalagi untuk menetapkan praktek-praktek ibadah yang tidak ada dalilnya.
Ketidak ilmiahan itu ialah dari dua sisi; pertama, ia menukil riwayat-riwayat yang buntung tanpa sanad. Sehingga otomatis tidak bisa kita pertanggungjawabkan kebenarannya. Kedua, ia menukil sebagiannya dari kitab-kitab sirah (sejarah) Nabi. Padahal telah sama dimaklumi bahwa kitab-kitab semacam ini mencampuradukkan antara hadits shahih, hasan, dha’if, bahkan hikayat-hikayat palsu sekalipun tanpa disertai penjelasan. Karenanya, riwayat-riwayat yang dinukil dari sumber yang terkontaminasi tadi menyebabkan aqidahnya ikut terkontaminasi…
Perlu kita fahami, bahwa yang berhak menetapkan sesuatu sebagai ibadah atau bukan hanyalah Allah ‘azza wa jalla melalui lisan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam [3]). Demikian pula dalam menentukan halal-haramnya sesuatu. Segala sesuatu yang dianggap baik oleh Allah dan Rasul-Nya adalah kebaikan meski di mata manusia buruk. Sebaliknya apa yang dinyatakan buruk oleh keduanya adalah buruk meski dianggap baik oleh manusia.
Manhaj inilah yang diterapkan oleh para sahabat sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang bisa kita tangkap dari riwayat-riwayat berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ تَمَتَّعَ النَّبِيُّ فَقَالَ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ عَنْ الْمُتْعَةِ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ مَا يَقُولُ عُرَيَّةُ قَالَ يَقُولُ نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ عَنْ الْمُتْعَةِ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أُرَاهُمْ سَيَهْلِكُونَ أَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ وَيَقُولُ نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ (رواه أحمد حديث رقم 3121)
Dari Ibnu Abbas ra, katanya: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan haji tamattu’[4])…” maka ‘Urwah bin Zubeir menyela: “Tapi Abu Bakar dan Umar melarang untuk melakukan tamattu’…”. Lalu kata Ibnu ‘Abbas: “Apa yang barusan dikatakan Urayyah [5])…?”. “Abu Bakar dan Umar melarang orang untuk tamattu’…” kata Urwah. Maka kata Ibnu Abbas ra: “Nampaknya mereka akan celaka… kukatakan kepadamu: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini dan begitu… tapi dia mengatakan: “Abu Bakar dan Umar melarangnya…” [6]) (H.R. Ahmad no 3121).
Hal senada juga diriwayatkan oleh Salim bin Abdillah bin ‘Umar, bahwa Abdullah bin ‘Umar (ayahnya) berkata: aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian larang wanita-wanita kalian untuk pergi ke masjid jika mereka meminta izin kepadamu untuk kesana”. Maka Bilal bin Abdillah bin Umar menyanggah: “Demi Allah, kami benar-benar akan melarang mereka…!!” maka bangkitlah Ibnu Umar menghampirinya seraya mencaci-makinya dengan makian yang belum pernah kudengar sebelumnya… lalu katanya: “Kukabarkan hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepadamu, tapi kamu justeru berkata: “Demi Allah, kami akan melarang mereka…?!” (H.R. Muslim no 442).
Lihatlah, bagaimana sikap ta’zhim para sahabat terhadap setiap petuah kekasih mereka; Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Sampai-sampai mereka berang jika mendengar ada orang yang berani menyelisihinya… tabiat Ibnu Umar yang semula halus dalam sekejap berubah menjadi kasar, bahkan sampai hati memaki-maki puteranya sendiri… mengapa? Hanya karena puteranya mengeluarkan kata-kata yang menyelisihi sabda Nabi tadi. Padahal kita yakin bahwa maksud Bilal bukanlah seperti itu, akan tetapi ia faham bahwa kaum wanita sering kali menyalahgunakan hadits ini sebagai alasan untuk sering-sering keluar rumah [7])… perkataannya tadi persis seperti yang diungkapkan oleh Ibunda ‘Aisyah y:
لَوْ أَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ الْمَسَاجِدَ كَمَا مُنِعَهُ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ (رواه مالك في الموطأ كتاب: النداء للصلاة, باب: ما جاء في خروج النساء إلى المساجد, رقم 418)
“Seandainya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melihat apa yang diperbuat oleh kaum wanita saat ini, pastilah beliau akan melarang mereka untuk ke masjid, sebagaimana wanita-wanita Bani Israel dilarang ke masjid” (H.R. Malik dalam Al Muwaththa’, no 418).
Akan tetapi Ibnu Umar tak kuasa mendengar kata-kata anaknya tadi… ia tak kuasa membiarkan anaknya hendak mengoreksi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam… maka terjadilah apa yang kita saksikan tadi… Ya Subhaanallaah…!! Bagaimana kiranya kalau Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma hidup di zaman kita, lalu mendengar ada orang yang berani mengatakan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat… tapi ada bid’ah yang makruh, ada yang mubah, ada yang sunnah, bahkan ada yang wajib…? padahal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat… kira-kira makian apa yang akan diterima orang ini…??
Dari sini terbuktilah bagaimana para salaf –terutama para sahabat radhiyallahu ‘anhum— demikian mengagungkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam… mereka tak berani sembarangan mengotak-atik dhahir hadits yang mereka dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, meski mereka memiliki alasan untuk menafsirkannya… bandingkan dengan manhaj yang dipakai Ustadz Novel dalam memelintir sabda Nabi yang terang-benderang maknanya bak matahari di siang bolong; bahwa semua bid’ah itu sesat… lantas ia menafsirkannya bahwa bid’ah yang bertentangan dengan agama sajalah yang sesat… Subhaanallaah!
Kalaulah orang yang menolak sabda Nabi dengan ucapan Abu Bakar dan Umar saja dinyatakan celaka oleh Ibnu Abbas –padahal keduanya merupakan manusia paling takwa dalam umat ini,– maka bagaimana kiranya kalau yang dipertentangkan dengan sabda Nabi itu hanyalah pendapat ulama biasa? Meskipun sekaliber As Suyuthi… atau Ibnu Hajar… atau seribu orang seperti mereka, memangnya apa arti keimanan dan ketakwaan mereka di samping keimanan dan ketakwaan Abu Bakar dan Umar…?? Lupakah dia bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan:
لَوْ وُضِعَ إِيْمَانُ أَبِي بَكْرٍ عَلىَ إِيْمَانِ هَذِهِ الأُمَّةِ لَرَجَحَ بِهَا (كشف الخفاء ج 2 / ص 165)
“Seandainya keimanan Abu Bakar ditimbang dengan keimanan umat ini, niscaya lebih berat keimanan Abu Bakar” (Kasyful Khofa’ 2/165) [8]).
Pun demikian, Ibnu Abbas t tak sedikit pun berani mendahulukan perkataan keduanya di atas sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam… saya rasa pembaca bisa menilai dari ini semua, siapa yang lebih benar manhajnya; Ustadz Novel cs yang mendahulukan perkataan ulama di atas sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, ataukah para sahabat yang mendahulukan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam di atas segalanya?
Bersambung ke syubhat ketiga….
€€€
[1]) Seperti Al Imam Hasan Al Bashry (w.110 H bukan 116 H seperti yang dinukil Novel), Ma’ruf Al Karkhy (w. 200-204 H), As Sariy As Saqthy (w. 253 H), , Imam Al Junaid (w. 297 H), lihat: Wafayaatul A’yaan. Lihat Mana Dalilnya 2 hal 48-55.
[2]) Bukunya berjudul: I’anatuth Thalibin, karya Abu Bakar bin Muhammad Syatha Ad Dimyathi.
[3]) Lihat kembali ayat 21 surat Asy Syura.
[4]) Tamattu’ ialah melakukan umrah pada bulan-bulan haji, kemudian bertahallul darinya. Lalu melakukan haji pada tahun itu juga. Makna tamattu’ ialah bersenang-senang. Disebut demikian karena setelah umrah jamaah haji meninggalkan ihramnya dan bisa kembali bersenang-senang dengan wewangian, pakaian, dan lain sebagainya hingga tanggal delapan Dzul Hijjah, di samping ia cukup sekali safar untuk bisa haji dan umrah. Istilah tamattu’ juga kadang ditujukan untuk orang yang haji qiran karena dengan begitu ia cukup melakukan safar satu kali ke Baitullah tapi bisa melakukan umrah & haji sekaligus; dan ini merupakan salah satu kesenangan. Para ulama berbeda pendapat mengenai manasik haji yang dipilih Rasulullah. Akan tetapi yang rajih ialah bahwa beliau melakukan haji Qiran (menggabungkan antara haji dan umrah), yang oleh Ibnu Abbas dalam hadits ini dinamakan tamattu’ -pen).
[5]) Kata ‘Urayyah adalah tashghier (pengecilan) dari ‘Urwah, yang biasanya digunakan untuk bercanda atau menyindir seseorang.
[6]) Larangan Abu Bakar dan Umar ra untuk melakukan haji tamattu’ ialah agar supaya orang-orang tak mencukupkan diri mengunjungi Baitullah sekali saja dalam setahun. Sehingga mereka melarang untuk haji tamattu’ dan menganjurkan haji ifrad. Akan tetapi Rasulullah sendiri mengangan-angankan seandainya beliau diberi kesempatan untuk haji lagi di tahun berikutnya, niscaya beliau tak akan menggiring binatang hadyu beliau, dan akan menjadikannya umrah secara terpisah, alias haji tamattu’ sebagaimana yang disebutkan dalam shahih Bukhari, Nasa’i, dan yang lainnya.
[7]) Dalam riwayat Ahmad (6014) disebutkan bahwa alasan Bilal mengatakan yang demikian ialah karena kaum wanita akan mengelabui suami mereka dengan pura-pura minta izin ke masjid untuk menyelesaikan urusan mereka yang lain. Disebutkan pula bahwa semenjak itu Ibnu Umar tak pernah mengajaknya bicara hingga ia wafat (lihat Fathul Bari, syarh hadits no 865).
[8]) Ungkapan yang senada juga diriwayatkan dari Umar secara mauquf (=perkataan beliau pribadi) dengan sanad yang shahih (lihat Al Ibanatul Kubra oleh Ibnu Batthah no 1155; dan Syu’abul Iman oleh Al Baihaqy no 35). Sedangkan yang marfu’ (=dinisbatkan kepada Nabi e) di atas ialah riwayat Abdullah bin Umar t. Meskipun salah seorang perawinya ada yang didha’ifkan, akan tetapi ia dikuatkan oleh hadits lain yang semakna. Lihat Kasyful Khofa’ 2/165, oleh Al ‘Ajluny, cet. Daarul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut-Libanon.